kitabshalat; kitab jenazah; kitab zakat; kitab shiyam; kitab hajji; kitab nikah; kitab urusan pidana; kitab hukuman; kitab jihad; kitab makanan; kitab sumpah dan nazar; kitab memutuskan perkara; kitab memerdekakan budak; kitab kelengkapan; 🙏 do'a sehari-hari; 🔉 audio podcast; 💬 kamus istilah islam; soal & pertanyaan agama; 🔀 ayat
Jakarta – Salah satu ulama Al Azhar Kairo Mesir, Al Muhaddits Syeikh Ahmad bin Shiddiq Al Ghumari Al Maghribi 1380 H / 1960 M, telah menyebutkan alasan kenapa disyariatkan atau dianjurkan kita menengadahkan tangan ke langit saat berdoa. Dalam kitab beliau, Al Manhu Al Mathlubah fi Istihbabi Raf’i Al Yadaini fi Ad Du’a` ba’da As Shalawati Al Maktubah halaman 61, beliau mengatakan,”Jika ada yang mengatakan,’ kalau Allah Ta’ala terbebas dari arah, lantas kenapa menengadahkan tangan ke langit saat berdoa ?” Beliau menjawab pertanyaan itu dengan menukil jawaban Al-Imam Al-Alim Al-Allamah Az-Zahid Al-Wara’ Abu Bakar bin Al-Walid At-Thurthusi Al-Andalusi Al-Iskandari Al-Maliki Al-Asy’ari atau Imam Ath-Thurthusi rahimahullah 1059 – 1126 M / 451 – 520 AH, ulama Malikiyah dari Iskandariyah, yang termaktub dalam kitab Ithaf As Sadah Al Muttaqin, syarah Ihya Ulum Ad Din 5/34 – 35. Dalam jawaban itu, Imam Ath-Thurthusi rahimahullah memberikan dua jawaban Pertama, hal itu berkenaan dengan masalah ubudiyah, seperti menghadap kiblat saat melaksanakan shalat, dan meletakkan kening ke bumi saat sujud, yang juga mensucikan Allah dari tempat, baik itu Ka’bah maupun tempat sujud. Sehingga, seakan akan langit merupakan kiblat saat berdoa. Kedua, karena langit adalah tempat turunnya rizki, rahmat dan keberkahan, sebagaimana hujan turun dari langit ke bumi. Demikian pula, langit merupakan tempat para malaikat, dimana Allah memutuskan maka perintah itu tertuju kepada mereka, hingga mereka menurunkannya ke penduduk bumi. Ringkasnya, langit adalah tempat pelaksanaan keputusan, maka doa ditujukan ke langit. Jawaban Imam Ath-Thurthusi rahimahullah di atas sejatinya merujuk kepada jawaban Al Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdurrahman terkenal dengan nama Imam Ibnu Qurai’ah rahimahullah 367 H / 977 M, saat ditanya oleh Abu Muhammad al-Hasan Bin Harun al-Muhallabi atau Al Wazir Al-Muhallabi rahimahullah 951 – 963 M di Oman, seorang menteri Baghdad yang amat dekat dengan para ulama. Dimana suatu saat Al Muhallabi menanyakan, “Saya melihatmu menengadahkan tangan ke langit dan merendahkan kening ke bumi, di mana sebenarnya Dia Allah Ta’ala ? Ibnu Qurai’ah rahimahullah menjawab, ”Sesungguhnya kami menengadahkan tangan ke tempat tempat turunnya rizki. Dan merendahkan kening kening kami ke tempat berakhirnya jasad jasad kami. Yang pertama untuk meminta rizki, yang kedua untuk menghindari keburukan tempat kematian. Tidakkah engkau mendengar firman Allah Ta’ala yang maknanya, ”Dan di langit rizki kalian dan apa apa yang dijanjikan.” QS. Ad Dzariyat 22. Dan Allah Ta’ala berfirman yang maknanya, ”Darinya Kami ciptakan kalian, dan padanya Kami kembalikan kalian.” QS Thaha 55. Dinukil dari kitab Al Manhu Al Mathlubah fi Istihbabi Raf’i Al Yadaini fi Ad Du’a` ba’da As Shalawati Al Maktubah, Maktab Al Mathbu’at Al Islamiyah, cetakan 2 2004.Shared by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jama’ah Sarinyala Kabupaten Gresik Sesungguhnyashalat termasuk salah satu rukun Islam yang sangat agung. "Dalam hadits ini terdapat larangan yang kuat dan ancaman yang keras atas perbuatan itu. Dan telah dinukil adanya ijma' (konsensus) atas larangan hal tersebut. 'Para ulama berbeda pendapat dalam kemakruhan menengadah pandangan ke langit ketika berdoa di luar waktu Pertanyaan Apa kondisi-kondisi yang memungkinkan merubah arah kiblat? Teks Jawaban penanya ingin mengetahui kondisi yang gugur di dalamnya menghadap kiblat dalam shalat. Dan shalatnya sah tanpa menghadap kiblat. Diantara syarat sahnya shalat adalah menghadap kiblat, tidak sah shalat kecuali dengannya karena Allah Ta’ala memerintahkan dan mengulangi perintahnya dalam Qur’an Karim dimana Allah berfirman وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ البقرة/144 “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” QS. Al-baqarah 144 maksudnya arahnya. Dahulu Nabi sallallahu alaihi wa sallam pertama kali tiba di Madinah shalat menghadap ke Baitul Maqdis, sehingga Ka’bah dibelakang punggungnya dan Syam di arah wajahnya. Akan tetapi setelah itu, beliau mengharap agar Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyareatkan berlaianan dengan hal itu. Sehingga seringkali wajahnya menengadah ke langit menunggu Jibril menurunkan wahyu kepadanya agar menghadap ke Ka’bah sebagaimana firman Allah قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ البقرة/144 “Sungguh Kami sering melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” QS. Al-Baqara 144 Maka Allah memerintahkan menghadap wajahnya ke Masjidil Haram maksudnya arahnya, melainkan dikecualikan hal itu dalam tiga permasalahan Permasalahan pertama kalau tidak mampu seperti sakit dan wajahnya ke selain kiblat dan dia tidak mampu mengarahkan ke kiblat. Maka menghadap kiblat baginya gugur dalam kondisi seperti ini berdasarkan firman Ta’ala Bertakwalah kepada Allah semampu anda,” QS. At-Tagobun 16. Dan firman Ta’ala “Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.” QS. Al-Baqarah 286. Juga sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ رواه البخاري 7288 ومسلم 1337 “Kalau saya perintahkah kamu semua dengan suatu perintah, maka lakukan sesuai dengan kemampuan kamu semua.” HR. Bukhori, 7288 dan Muslim, 1337. Permasalahan kedua kalau dalam kondisi sangat ketakutan seperti seseorang lari dari musuh atau lari dari binatang buas atau lari dari banjir yang menenggelamkannya. Maka disini menunaikan shalat kemana saja wajah menghadap. Dalilnya firman Allat Ta’ala فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ البقرة/239 . “Jika kamu dalam keadaan takut bahaya, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah shalatlah, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” QS. Al-Baqarah 239. Firman-Nya فَإِنْ خِفْتُمْ” Jika kamu dalam keadaan takut bahaya” umum mencakup semua jenis ketakutan. Dan firman-Nya “Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah shalatlah, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” Menunjukkan bahwa zikir apapun yang ditinggalkan seseorang karena ketakutan, maka hal itu tidak mengapa. Diantara hal itu adalah menghadap kiblat. Menunjukkan juga dari dua ayat mulia tadi dan hadits nabawi bahwa kewajiban tergantung dari kemampuan. Permasalahan ketiga shalat sunah dalam safar baik di atas kapal terbang atau mobil atau di atas unta. Maka dia shalat kemana saja wajahnya menghadap dalam shalat sunah seperti witir, dzuha dan semisal itu. Orang musafir hendaknya menunaikan semua shalat sunah seperti benar-benar orang mukim kecuali sunah rowatib seperti rawatib Zuhur, magrib, Isya’. Yang sesuai sunah adalah meninggalkannya. Kalau ingin menunaikan shalat sunah sementara dia dalam kondisi safar, maka hendaknya dia menunaikan sunah dimana saja menghadap wajahnya. Hal itu yang telah ada ketetapan dalam Shohehahin dari Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam. Inilah tiga permasalahan tidak diwajibkan menghadap kiblat. Sementara yang tidak mengetahui maka dia wajib menghadap kiblat. Akan tetapi ketika dia berijtihad, dan mencari-cari kemudian ternyata dia salah setelah berijtihad, maka dia tidak perlu mengulanginya. Kita tidak mengatakan, “Dia gugur menghadap kiblat, bahkan dia wajib menghadap kiblat dan berusaha semampunya untuk mencarinya. Ketika berusaha mencari sesuai dengan kemampuannya kemudian ternyata salah, maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya. Dalil akan hal itu adalah bahwa para shahabat yang tidak mengetahui perubahan kiblat ke Ka’bah, mereka shalat hari itu shalat Fajar di Masjid Quba’, kemudian ada seseorang datang seraya mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam telah diturunkan malam ini wahyu Qur’an. Dan diperintahkan untuk menghadap Ka’bah. Maka mereka mengahadapnya. Dahulu wajah mereka menghadap ke Syam, kemudian mereka berputar ke Ka’bah.’ HR. Bukhori, 403 dan Muslim, 526. Sebelumnya Ka’bah dibelakang mereka, dijadikan di depannya. Mereka berputar dan terus melanjutkan shalatnya. Ini terjadi pada masa Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Dan tidak ada pengingkaran, maka hal itu menjadi disyareatkan. Maksudnya kalau seseorang salah dalam kiblat karena tidak tahu, maka dia tidak perlu mengulanginya. Akan tetapi ketika mengetahui hal itu di sela-sela shalat, maka dia wajib menghadap kiblat. Maka menghadap kiblat termasuk salah satu syarat shalat tidak sah kecuali dengannya dalam tiga tempat. Kecuali kalau seseorang telah berijtihad dan berhati-hati.” Selesai Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 12/433-435. Wallahu a’lam .Laranganmenengadah ke langit Rasulullah shallAllahu 'alaihi wasallam melarang keras menengadah ke langit (ketika sholat). Dari Abu Hurairah radhiyAllahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallAllahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hendaklah sekelompok orang benar-benar menghentikan pandangan matanya yang terangkat ke langit ketika berdoa dalam sholat atauJAKARTA - Shalat merupakan perintah Allah SWT. Lihat QS Al-Baqarah [2] 55, 110, 177, 277, An-Nisaa [4]103, 162, Al-Maidah [5]12, Al-An’am [6]72, 92, Al-A’raf [7]29, Al-Anfal [8]3, At-Taubah [9]11, 18, 71, Ar-ra’du [13]22, Ibrahim [14]31, 37, 40, Thaha [20]132, Al-Hajj [22] 78, Al-Ahzab [33]33, dan banyak lagi lainnya. Tujuannya adalah mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar. QS Al-Ankabut [29] 45. Sehingga terbentuk pribadi yang muttaqin QS Al-Baqarah [2] 2-5, yang khusyuk QS Al-Mu’minun [23] 1-2, tawadlu, dan lain sebagainya. Shalat adalah mi’raj-nya seorang Muslim. Shalat merupakan cara seorang Muslim untuk berkomunikasi dengan Allah SWT. Karena itu, setiap melaksanakan shalat, seorang Muslim diperintahkan untuk senantiasa menyucikan diri, baik lahir maupun batin. Karena shalat merupakan cara Muslim menghadap Allah, maka sudah sepantasnya bila dalam kegiatan shalat terbetik pikiran selain hanya berkonsentrasi menghadap Allah. Pertanyaannya, bolehkah bergerak-gerak dalam shalat, yang tentu saja gerakan itu bukan gerakan shalat? Misalnya, menggaruk kukur-kukur Jawa, merapikan pakaian, memukul nyamuk, dan lain sebagainya. Para ulama sepakat, tidak sah shalat seorang Muslim apabila dalam hatinya terdapat maksud selain Allah. Misalnya memikirkan pekerjaan, makanan, keluarga, dan lainnya. Sedangkan dalam hal bergerak-gerak dalam shalat, para ulama juga menyepakati, bahwa tidak sah shalat seorang Muslim yang bergerak-gerak dalam shalat, apalagi gerakan itu bukan pekerjaan shalat, seperti sujud, rukuk, tahiyyat, i’tidal, dan lainnya. Bila ini dilakukan, maka batallah shalatnya. Termasuk dalam hal ini adalah menolehkan kepala atau pandangannya secara sengaja. Perbuatan itu adalah barang rampasan yang dirampas setan dari shalat seorang hamba. HR Bukhari. Beberapa perbuatan yang dianggap membatalkan shalat itu antara lain, berbicara secara sengaja, tertawa terbahak-bahak, makan dan minum secara sengaja, melakukan terlalu banyak gerakan. Tidak menghadap kiblat secara sengaja, batalnya wudlu, mengingat-ingat shalat yang belum dikerjakan, terbukanya aurat, serta tidak tuma’ninah pada saat rukuk, sujud, maupun duduk tahiyyat. Namun demikian, ada sebagian ulama yang menyatakan makruh bergerak dalam shalat, selama gerakan itu tidak merusak rukun shalat. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai gerakan tersebut, dan berapa jumlah maksimal gerakan lain di luar gerakan shalat. Imam Syafii menyatakan, banyak bergerak dalam shalat maka hukumnya batal. Demikian juga dengan pendapat Imam Maliki, Hanbali, dan Hanafi. Perbuatan gerak yang membatalkan shalat itu menurut kesepakatan pada ulama mazhab ini, apabila perbuatan gerak tersebut diluar gerakan shalat. Menurut mereka, dalam shalat setiap Muslim diperintahkan agar khusyuk, sebagaimana terdapat dalam surah al-Mu’minun [23] ayat 1-2. Beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang khusyuk dalam shalatnya. Syekh Ala’uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi dalam kitabnya Tafsir al-Khazin, juz V, halaman 32 menyatakan, khusyuk dalam shalat adalah menyatukan konsentrasi dan berpaling dari selain Allah serta merenungkan semua yang diucapkannya, baik berupa bacaan Alquran ataupun zikir. Dan perbuatan menggerak-gerakkan anggota badannya, dianggap merupakan perbuatan di luar gerakan shalat. Dan perbuatan itu dapat merusak ibadah shalat. Imam Nawawi berpendapat, sebagaimana dinukil oleh Sayyid Sabiq didalam kitabnya Fiqhus Sunnah, Perbuatan yang tidak termasuk dalam pekerjaan shalat jika ia menimbulkan banyak gerak itu membatalkan, tetapi jika hanya menimbulkan sedikit gerak, itu tidaklah membatalkan. Seluruh ulama sepakat dalam hal ini, tetapi dalam menentukan ukuran yang banyak atau gerak yang sedikit terdapat empat pendapat. Imam Nawawi menambahkan, Sahabat sepakat bahwa bergerak banyak yang membatalkan itu ialah jika berturut-turut. Jadi, jika gerakannya berselang-seling, tidaklah membatalkan shalat, seperti melangkah kemudian berhenti sebentar, lalu melangkah lagi selangkah atau dua langkah, yakni secara terpisah-pisah. Adapun gerakan ringan seperti menggerakkan jari untuk menghitung tasbih atau disebabkan gatal dan lainnya, hal itu tidaklah membatalkan shalat walaupun dilakukan secara berturut-turut, namun hukumnya makruh. Fiqhus Sunnah. Janganlah mengusap kerikil ketika sedang shalat, tapi jika kalian terpaksa melakukannya, maka cukuplah dengan meratakannya saja. HR Bukari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad, nasai, Ibnu Majah, dan Abu Dawud. Namun, para ulama mengembalikan masalah gerakan ini pada kebiasaan yang lazim. Menurut mereka, batal atau tidaknya gerakan—yang bukan gerakan shalat—sebanyak tiga kali di dalam shalat dikembalikan kepada kebiasaan yang lazim. Jika memang kebiasaan masyarakat setempat menganggap bahwa tiga kali gerakan adalah tidak termasuk dalam banyak gerakan, maka diperbolehkan. Dan jika masyarakat menganggap sebaliknya, maka batallah shalatnya. Karena itu, berhati-hatilah dalam melaksanakan shalat, terutama pada perbuatan yang merupakan bukan gerakan shalat, seperti menggaruk, merapikan pakai, mengusap debu, dan lain sebagainya. Umat Islam diperintahkan untuk khuyuk dan meminimalkan gerakan di luar gerakan shalat, demi kehati-hatian. Wallahu A’lam. Tabel Pendapat Ulama Syafii Makruh, maksimal tiga kali gerakan, dan tidak dilakukan secara berurutan. Maliki Makruh menggerakkan anggota badan selain gerakan shalat Hanafi Makruh menggerakkan anggota badan selain gerakan shalat Hanbali Membatalkan shalat
Niatberarti menyengaja untuk sholat, menghambakan diri kepada Allah Ta'ala semata, serta menguatkannya dalam hati. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua amal tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapat (balasan) sesuai dengan niatnya." (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain. Baca Al Irwa', hadits no. 22).Keduanya(shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis dan Ka'bah) berdasarkan perintah Allah Ta'ala. Yahdī may yasyā-u ilā shirāthim mustaqīm (Dia memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus), yakni Allah Ta'ala meneguhkan siapa saja yang Dia kehendaki untuk memeluk agama Islam dan menghadap kiblat yang lurus.. . 325 183 446 325 227 23 311 449